Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang terikat oleh hukum. Hal ini mengandung konsepsi dan pemikiran yang mengalami perkembangan. Menurut Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa negara hukum harus dijalankan atas dasar hukum berbasis keadilan. Dalam suatu negara hukum pilar yang terpenting adalah adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Terbentuknya negara dengan adanya penyelenggaraan kekuasaan negara tidak berarti harus mengurangi makna kebebasan dan hak asasi kemanusiaan itu. Salah satu ciri negara yang gagal adalah ketika negara tidak berhasil melindungi dan menegakkan hak asasi rakyatnya.
Penegakan hukum yang terpenting yang harus diperhatikan adalah kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Hukum dan keadilan merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Pengadilan bukan tempat untuk mencari uang, akan tetapi merupakan tempat untuk mencari keadilan. Hingga kini hukum ini berlaku hanya bagi orang-orang apes atau kurang beruntung dengan tidak memiliki pembela karena tidak memiliki uang. Hukum di Indonesia masih dapat dibeli dan belum adil dalam penegakan supremasi hukum. Masih banyak dipermainkan dan bisa diperjual belikan oleh orang-orang yang punya uang. Dalam kekuatan politik maupun uang bisa mempengaruhi terhadap keputusan hukum. Pelaku kejahatan itu bisa saja dipindahkan atau dibebaskan sebab adanya permainan hukum.
Hukum yang seharusnya bisa menjadi penegak keadilan bagi Masyarakat masih belum bisa di fungsikan sebagaimana mestinya. Salah satu saat ini yang dirasakan dalam kririkan kasus hukum Novel Baswedan yang disiram air keras oleh dua orang polisi pada tahun 2008. Kasus tersebut menjadi ramai dan diperbincangkan karena pelaku hanya di tuntut 1 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), padahal tercantum dalam KUHP pasal 353 ayat (1) “Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara empat tahun” dan ayat (2) “Jika perbuatan mengakibatkan luka–luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.(Moeljatno, 2000 : 126).
Hal ini menggambarkan bahwa berbagai praktek negatif layaknya racun yang menyertai pelaksanaan hukum itu sendiri. Dampaknya, hukum di Indonesia terlihat lemah dan statusnyapun terancam. Penyimpangan dan deskriminasi ini justru menjadikan hukum layaknya jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang kuat dan kaya, ketika orang biasa dan tidak mempunyai jabatan melakukan pelanggaran hukum maka langsung ditangkap dan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya. Kasus seperti Hamdani misalnya yang mencuri sandal jepit milik perusahaan tempat ia bekerja, dan lagi kasus seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum masih tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Hukum bisa dibeli bagi mereka yang kaya.
Seringkali kita mendengar istilah “Hukum Sangat Tajam Ke Bawah dan Tumpul Ke Atas”. Tentu istilah ini bentuk dari representasi hukum yang dirasakan banyak masyarakat kecil yang menganggap hukum tidak sejalan dengan tujuan dan sistem hukum Indonesia. Supremasi hukum yang ingin diciptakan serasa kehilangan jati dirinya, kebenaran yang ingin ditegakkan serasa memiliki arah ketidakpastian, padahal sistem hukum kita menjamin keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum untuk masyarakat Indonesia.
Slogan diatas dapat kita artikan sebagai salah satu kenyataan bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas bawah daripada pejabat tinggi. Banyak kemudian kasus-kasus kecil yang dilakukan masyarakat kecil hanya karena kebutuhan hidup mesti dihukum melalui proses pengadilan, dan sebaliknya tidak sedikit kasus-kasus besar seperti korupsi para politisi ditutup, jikalaupun diberlakukan hukum namun setiap tahun akan mendapatkan remisi dari pemerintah.
Masih sangat jelas dipandangan kita terkait kasus korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta Rupiah. Ratu telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar satu Miliar Rupiah bermaksud untuk memenangkan gugutan yang diajukan. Sementara itu Bandingkan dengan kasus seorang seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dan dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Kelogisan hukum telah hilang jika kita melihat gambaran kedua kasus diatas. Kerapihan sistem dan tujuan hukum kita dicederai hanya persoalan kelas antara pejabat dan rakyat. Padahal jika dipikirkan secara baik, kemana nilai kemanusian para pejabat yang mengaku paham akan hukum? Kemana eksistensi para aparat penegak hukum yang disumpah dengan konstitusi negara kita?
Muncullah pertanyaan, siapa yang patut untuk disalahkan ? Apakah Hukum Indonesia yang masih simapng-siur, atau Sistem hukum kita yang masih berkiblat pada sistem eropa kontinental ? ataukah ada hal lain yang mesti disalahkan ? Pada dasarnya, hukum dan sistemnya tidak dapat disalahkan hanya karena ketidakadilan yang dirasakan banya orang, karena persepsi adil itu suatu hal yang maknanya multitafsir. Mungkin bagi masyarakat kecil adil ialah sesuatu yang mesti diperlakukan sama yang sesuai dengan Undang-undang atau aturan yang berlaku. Sebaliknya adil dalam persepsi Pejabat ataupun Politisi yang diperiksa adalah apa-apa yang menjadi keputusan pada persidangan itulah kebenaran hukum.
Jadi kedua persepsi ini tidak dapat menyatu, karena hukum dan penerapan hukum merupakan dua hal yang berbeda, ibaratnya hukum hanya menjadi tinta dalam sebuah pulpen, aturan-aturan, teori dan hal lainnya merupakan kelengkapannya, tinggal bagaimana orang yang menggunakan pulpen tersebut, dapatkah ia gunakan untuk menulis, ataukah mengartikan pulpen itu untuk berbruat jahat, misalkan pulpen dijadikan sebagai alat untuk berbuat kejahatan, pembunuhan dan sebagainya.
Relevansi dari analogi diatas sangat jelas, menjawab pertanyaan diatas, manakah yang patut untuk kita salahkan terkait Hukum dinilai Tumpul Ke Atas dan Tajam Ke Bawah. Jadi yang salah dalam proses penegakkan ataupun penerapan hukum ialah aparat/oknum terrkait yang melakukan proses penegakkan hukum itu sendiri. Kesadaran hukum sangat diperlukan dalam penerapan hukum, tanpa kesadaran hukum para penegak hukum sulit meneggakan hukum yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Selain kesadaran hukum, faktor lain tentunya ialah lemahnya pendidikan hukum yang dimiliki oleh aparat penegakkan hukum. Baik pendidikan yang berskala seputar hukum, maupun pendidikan agama, karena dengan faktor pendidikan agama moral para penegakkan hukum lebih jauh terjaga ketika ada niat atau kemauan dalam menyalahgunakan kewenangan mereka pada saat penegakan hukum.
Penulis memberikan saran bahwa kiranya aparat penegak hukum lebih memahami bunyi UUD pasal 28 D ayat satu yang berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Penulis berfikir bahwa ketika bunyi Undang-undang Dasar diatas dapat diterapkan maka penerapan hukum yang dirasakan masyarakat dianggap berjalan dengan baik dan adil, tanpa membedakan mana kaum lemah dan mana kaum berkelas, mana tikus berdasi dan mana kepompong yang menjerit.
Penulis : Dr. Ratna Riyanti SH.,MH
Dosen Universitas Pahlawan – Riau.
0 Komentar